https://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/issue/feedSeri Filsafat Teologi2025-10-24T09:28:45+07:00FX. Kurniawan Dwi Madyo Utomoserifilsafatws@gmail.comOpen Journal Systems<p>.</p> <div style="display: none;"> <p><a href="https://www.miagarcia.mx/">wiltoto</a></p> <p><a href="https://thebalancesmb.top/">slot 4d</a></p> <p><a href="https://shoppsjailbreak.com/">toto togel</a></p> </div>https://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/277Scroll, Like, Repeat: Analisis Kritis Komunikasi Orang Muda dalam Budaya Digital Kontemporer2025-10-14T09:50:26+07:00Agustino Basten Mbake WokaMbakewokabas@gmail.comAlfredsius Ngese Dojaalfreddoja23@gmail.comLeonardo Rama Dwi Juliorama2julio@gmail.comMaksimus Abiabymak@gmail.comRomansyah Donidoniromansyah03@gmail.com<p>Tulisan ini membahas fenomena pola komunikasi dangkal dan repetitif yang berkembang di kalangan orang muda dalam ekosistem budaya digital kontemporer. Fokus utama kajian ini adalah aktivitas “<em>scroll</em>, <em>like</em>, <em>repeat</em>” di media sosial seperti <em>Instagram</em> dan <em>TikTok</em> yang telah menggantikan bentuk komunikasi interpersonal yang reflektif dengan interaksi instan, simbolik dan minim makna. Penelitian ini mengevaluasi bagaimana budaya digital yang mengutamakan kecepatan, visualisasi dan reaksi cepat mendorong konsumsi konten pasif serta membentuk komunikasi yang lebih performatif daripada substansial. Dengan menggunakan pendekatan teori komunikasi kritis dari pemikir seperti Habermas, McLuhan, dan Baudrillard, analisis ini menunjukkan bahwa media sosial tidak hanya sebagai saluran komunikasi, tetapi juga sebagai alat dominasi budaya dan konstruksi realitas sosial. Fenomena komunikasi instan telah menciptakan krisis makna, menurunkan kualitas dialog dan memunculkan dampak psikologis seperti alienasi dan ketergantungan terhadap validasi eksternal. Orang muda cenderung terjebak dalam pola interaksi yang mementingkan respons cepat ketimbang refleksi, yang berdampak pada kemampuan berpikir kritis dan berempati. Tulisan ini menekankan perlunya pengembangan literasi media dan pendidikan komunikasi kritis untuk membangun kembali kesadaran terhadap makna komunikasi. Komunikasi yang bermakna tidak hanya berfokus pada ekspresi, tetapi juga keterlibatan dalam dialog otentik yang memperkaya relasi sosial dan keberadaan bersama. Penemuan dari kajian ini adalah bahwa komunikasi digital di kalangan orang muda saat ini menghadapi tantangan besar dalam menjaga kedalaman, refleksi dan keaslian. Upaya kolektif untuk memperlambat ritme komunikasi, meningkatkan kesadaran kritis dan mendorong praktik dialogis sangat penting untuk membentuk ruang digital yang lebih sehat, inklusif dan transformatif.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/272Menjadi Diri Sendiri Di Dunia Yang Terkoneksi Ditinjau Dari Perspektif Kierkegaard Dan Krisis Subjektivitas Digital2025-10-14T09:08:39+07:00Dendri .dendri25@gmail.comYohanes Wilson B. Lena Meoelwinbei@gmail.comUrbanus Rohitrohiturbanus@gmail.comSanto Ignasius Kotenignasiuskoten@gmail.comSirilus Anantha Deva Hexannodevahexanno@gmail.com<p>Di era digital yang ditandai oleh konektivitas konstan dan dominasi media sosial, individu, khususnya kaum muda, menghadapi krisis subjektivitas yang mendalam. Identitas sering kali dibentuk oleh tuntutan performatif digital, pencarian validasi eksternal, dan pelarian dari kecemasan eksistensial melalui estetika citra diri. Artikel ini mengkaji krisis tersebut melalui lensa filsafat Søren Kierkegaard, yang menekankan pentingnya subjektivitas otentik, keberanian menghadapi kecemasan, dan relasi personal dengan Yang Mutlak. Dunia digital dibaca sebagai perwujudan dari tahap estetis dalam pemikiran Kierkegaard, di mana individu cenderung menghindari tanggung jawab eksistensial dan terjebak dalam keputusasaan tersembunyi. Dengan menggali tahap-tahap eksistensial—estetis, etis, dan religius—artikel ini mengusulkan pendekatan reflektif terhadap penggunaan teknologi: bukan penolakan, melainkan transformasi. Filsafat Kierkegaard memberikan kerangka untuk membangun subjektivitas otentik di tengah distraksi digital, melalui kesadaran diri, pilihan etis, dan iman yang hidup. Akhirnya, menjadi diri sendiri di era digital memerlukan lebih dari sekadar manajemen citra; ia menuntut integritas batin, keberanian eksistensial, dan kesetiaan terhadap panggilan terdalam manusia.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/271Mindless Scrolling dalam Perspektif Filsafat Sartre sebagai Wujud Bad Faith2025-10-14T08:59:51+07:00Christophorus Rinovan Prasetyo Widichristophorusrinovan@gmail.comMatias rico Adi PrasetyoAdiprasetyo3@gmail.comPaulus kevin KurniawankevinKurniawan7@gmail.comBenny Phang Khong Wingbeniphang@gmail.com<p>Fenomena <em>mindless scrolling</em> atau kebiasaan menggulir media sosial secara pasif tanpa tujuan menjadi ciri khas kehidupan digital masa kini. Kebiasaan ini bukan hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga mencerminkan persoalan eksistensial yang lebih dalam. Artikel ini menganalisis <em>mindless scrolling</em> sebagai bentuk <em>bad faith</em> dalam perspektif filsafat eksistensialis Jean-Paul Sartre. Sartre memandang <em>bad faith</em> sebagai penipuan diri, yaitu tindakan individu yang menyangkal kebebasannya dengan menyalahkan kekuatan eksternal atau larut dalam peran sosial. Dalam konteks digital, <em>mindless scrolling</em> dipahami sebagai mekanisme pelarian dari kecemasan eksistensial dan tanggung jawab untuk hidup secara otentik. Meskipun teknologi berperan dalam membentuk kebiasaan ini, Sartre menekankan bahwa manusia tetap memiliki kebebasan untuk memilih dan bertindak. Dengan demikian, kebiasaan ini tidak semata-mata disebabkan oleh desain algoritmik, tetapi juga oleh kecenderungan manusia untuk menghindari refleksi diri. Kajian ini menunjukkan bahwa untuk keluar dari <em>bad faith</em> digital, dibutuhkan kesadaran akan kebebasan eksistensial dan keberanian untuk mengambil tanggung jawab atas waktu dan perhatian. Refleksi filosofis ini diharapkan memperkaya pendekatan terhadap literasi digital dan etika penggunaan teknologi.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/270Menuju Eksistensi Otentik Orang Muda Indonesia di Era Digital: Tinjauan Filosofis Berdasarkan Konsep Dasein dan Das Man Martin Heidegger 2025-10-14T08:53:05+07:00Alkuinus Ison Baboalkuinusisonbabosmm@gmail.comHerminus Herwino Anselo Ndamaanselondama3@gmail.comSeverinus Savio Cimi savioimi@gmail.comVidelis Gon Gon@gmail.comSusilo susilos3@gmail.com<p>Era digital telah membentuk ruang eksistensial baru bagi kaum muda Indonesia, di mana media sosial menjadi medan utama pembentukan identitas dan relasi sosial. Studi ini menganalisis fenomena tersebut melalui lensa filsafat Martin Heidegger, khususnya konsep <em>Dasein </em>dan <em>das Man</em>. Heidegger memandang manusia sebagai <em>Dasein</em>—makhluk yang sadar akan keberadaannya, namun rentan kehilangan keotentikan ketika hidupnya dikendalikan oleh opini publik dan norma sosial (<em>das Man</em>). Media sosial memperkuat mode eksistensi tidak otentik ini melalui algoritma, budaya performatif, dan tekanan validasi eksternal. Melalui pendekatan kualitatif dan studi pustaka, penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman kecemasan eksistensial (<em>Angst</em>) dapat menjadi pintu menuju keotentikan. Kaum muda perlu membangun sikap reflektif dan kritis dalam menggunakan media sosial, dengan mengembangkan keberanian eksistensial (<em>Entschlossenheit</em>) dan sikap <em>Gelassenheit</em>—yakni penggunaan teknologi secara sadar dan merdeka. Studi ini juga menegaskan pentingnya peran pemerintah, lembaga pendidikan, dan keluarga dalam mendampingi kaum muda agar mampu hidup sebagai pribadi otentik di tengah dunia digital.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/275Manusia dalam Pemanfaatan AI Generative Menurut Filsafat Eksistensialisme Heidegger2025-10-14T09:34:03+07:00Fransesco Agnes Ranubayafransescoagnesranubaya@gmail.comAlpinus Pan alpinusPan11@gmail.comJohannes Louisjohanneslouis@gmail.comAndreas Mariano mariano1@gmail.comWerenfridus Kalistus Rangga kalistusrangga3@gmail.com<p>Penelitian ini mengkaji relevansi konsep <em>Das Sein</em> dalam pemikiran Martin Heidegger untuk memahami eksistensi manusia di era AI generatif. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana <em>Das Sein</em> dapat digunakan untuk menafsirkan keberadaan manusia dalam interaksi dengan teknologi AI generatif, sejauh mana teknologi ini memengaruhi keterlemparan (Geworfenheit) manusia, serta apakah AI generatif menjadi ancaman atau justru memperluas dimensi eksistensial manusia. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan perspektif filosofis terhadap hubungan manusia dan teknologi dalam era digital yang semakin kompleks. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan filosofis-hermeneutis. Analisis dilakukan terhadap konsep <em>Das Sein</em> dalam pemikiran Heidegger, dengan menelaah relevansinya dalam konteks pemanfaatan AI generatif. Studi ini bersifat eksploratif dan interpretatif terhadap teks-teks utama Heidegger, serta refleksi atas penerapannya dalam perkembangan teknologi saat ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa AI generatif dapat menjadi medium bagi manusia dalam mengungkapkan eksistensinya, tetapi juga berpotensi mengarah pada keterasingan jika manusia kehilangan kesadaran eksistensialnya. Oleh karena itu, pemahaman baru tentang hubungan manusia dan teknologi perlu dirumuskan dengan menekankan kesadaran akan keberadaan yang autentik agar AI generatif tidak hanya menjadi alat, tetapi juga ruang bagi manusia untuk memperdalam makna keberadaannya.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/279Diri yang Terfragmentasi: Filsafat Paul Ricoeur dan Narasi Identitas Kaum Muda di Dunia Digital2025-10-14T10:01:30+07:00Agrindo Zandro Raioan agrinndozanndro@gmail.comFX. Eko Armada Riyantofxarmadacm@gmail.comMayolus Dimas Batararanda Ismupurantomayolus.dimas99@gmail.comCornelis Nuba Sakticornelinubasakti21@gmail.com<p>Di era digital, kaum muda hidup dalam ruang interaksi sosial yang didominasi oleh media digital. Identitas pribadi dibentuk dan dipertontonkan secara instan melalui narasi-narasi singkat, visual, dan terfragmentasi. Kondisi ini menimbulkan persoalan serius mengenai kontinuitas, otentisitas, dan kedalaman identitas diri, yang kini cenderung ditentukan oleh algoritma dan ekspektasi sosial, bukan oleh refleksi pribadi yang mendalam. Artikel ini bertujuan untuk menelaah bagaimana konstruksi identitas kaum muda dalam dunia digital dapat dipahami secara filosofis melalui kerangka <em>identitas naratif</em> dari Paul Ricoeur. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif reflektif dengan pendekatan hermeneutika filosofis untuk menganalisis teks dan fenomena. Kerangka teorinya berpijak pada gagasan Ricoeur mengenai narasi sebagai medium pembentukan identitas melalui kesinambungan waktu dan tanggung jawab etis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media digital cenderung memecah kesinambungan (kontinuitas) naratif diri dan menciptakan identitas yang performatif, tetapi dalam waktu yang sama juga menyediakan ruang untuk rekonstruksi identitas yang lebih reflektif dan bertanggung jawab. Dengan demikian, filsafat Ricoeur menawarkan landasan penting untuk memahami sekaligus mengkritisi dinamika eksistensial kaum muda di tengah arus digitalisasi identitas</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/264Kekalahan Subjek Kaum Muda dalam Media Sosial Tinjauan Berdasarkan Konsep Hiperrealitas Jean Baudrillard2025-10-13T10:43:07+07:00Valentinus .mualangboy@gmail.comFransisko SadiantoSadiantows1@gmail.comYakobus SyukurSyukur3@gmail.comMaurinus Reymino Nabanreyminonaban@gmail.comMario Aleksander Betubetu@gmail.comVinsensius Fererius Ratmanratman3@gmail.com<p>Penelitian ini berfokus pada diskursus kekalahan subyek kaum muda dalam media sosial dengan menggunakan konsep hiperrealitas Jean Baudrillard. Menurut Baudrillard, hiperrealitas adalah kondisi ketika batas antara realitas dan fiksi lenyap, karena teknologi simulasi mampu mewujudkan hal-hal imajiner menjadi seolah-olah nyata. Realitas tidak lagi berdiri sendiri, tetapi melebur dengan fantasi, mitos, dan ilusi. Dalam dunia ini, yang nyata tidak bisa lagi dibedakan dari yang tiruan karena semuanya telah bercampur tanpa ketegangan. Hiperrealitas bukan sekadar melampaui realitas, tetapi justru menggantikannya. Akibatnya, dunia simulasi menjadi lebih dominan daripada kenyataan itu sendiri. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan merujuk pada studi kepustakaan. Adapun temuan penelitian ini ialah (1) kekalahan kaum muda sebagai subjek tampak ketika media sosial menjadi panggung hiperrealitas, diri kaum muda dibentuk berdasarkan ekspektasi citra, tubuh dan gaya hidup direpresentasikan lewat filter dan konten, realitas diganti dengan representasi, validasi eksternal sebagai pusat makna hidup, dan kaum muda tunduk pada logika algoritma. (2) Kekalahan subjek kaum muda dapat diatasi melalui proses edukasi dan literasi digital yang menekankan keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata, sekaligus membangun kesadaran kritis akan perbedaan antara citra digital dan identitas autentik</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/267Antara Keberadaan dan Pencitraan: Filsafat Eksistensialisme, Media Sosial, dan Krisis Identitas Kaum Muda2025-10-14T08:18:17+07:00Alexander Kenoerwinmsf1895@gmail.comAfirinus Hardin Hardin@gmail.comYohanes Dediyanto Bagusyohanesdediyanto@gmail.comWindobrodus Meakwindobrodus3@gmail.com<p>Fokus tulisan ini adalah menganalisis krisis identitas kaum muda di era media sosial melalui pendekatan filsafat eksistensialisme. Pencitraan digital yang masif telah menggeser makna keberadaan menjadi performa visual demi validasi sosial, sehingga memicu kecemasan dan ketidakaslian dalam pembentukan identitas diri. Tujuan penulisan ini adalah menguraikan relevansi pemikiran eksistensialis khususnya Jean-Paul Sartre, Søren Kierkegaard, dan Albert Camus dalam memahami fenomena tersebut. Metodologi yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan pendekatan kualitatif-deskriptif, menggabungkan sumber filsafat dan kajian kontemporer tentang media sosial. Sartre menyoroti kebebasan dan tanggung jawab atas pilihan hidup; Kierkegaard menekankan pentingnya menghadapi kecemasan sebagai jalan menuju keotentikan; sementara Camus melihat absurditas sebagai panggilan untuk menciptakan makna secara sadar. Temuan utama menunjukkan bahwa media sosial dapat menjadi sumber alienasi diri ketika individu lebih fokus pada pencitraan dibanding eksistensi otentik. Tulisan ini mengajak kaum muda untuk merefleksikan kembali makna keberadaan dan menjalani hidup secara sadar, bebas, dan bertanggung jawab.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/268Hiperrealitas dan Krisis Identitas Remaja: Telaah Filosifis atas Dunia Digital Tinjuan dari Prespektif Jean Baudrillard2025-10-14T08:38:32+07:00Aloysius .aloysius2@gmail.comSemada Kelen Donatusdonatusse@hotmail.comAlex Kardo Kardo7@gmail.comYoga Manggolo Simajuntak simajuntaks4@gmail.comEvaldus Rafiko ChandraRafikochandra1@gmail.com<p>Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam cara remaja membentuk identitas diri. Kehadiran media sosial dan budaya visual menciptakan realitas baru yang tidak lagi merepresentasikan kenyataan, melainkan membentuk <em>hiperrealitas</em> suatu keadaan di mana simulasi menjadi lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Penelitian ini berangkat dari persoalan krisis identitas yang dialami remaja akibat dominasi citra dan representasi digital. Berdasarkan pemikiran Jean Baudrillard, telaah ini bertujuan mengungkap bagaimana konsep <em>simulakrum</em> dan <em>hiperrealitas</em> menjelaskan dislokasi identitas remaja dalam dunia digital. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif-deskriptif dengan studi pustaka sebagai teknik utama. Analisis dilakukan terhadap teks-teks utama Baudrillard serta fenomena digital yang relevan dalam kehidupan remaja kontemporer, seperti penggunaan media sosial, pencitraan diri, dan budaya viral. Studi ini menawarkan sumbangsih pemikiran kritis terhadap pemahaman identitas remaja, sekaligus memberikan refleksi filosofis bagi pendidikan dan kebijakan budaya digital. Dengan memahami bagaimana hiperrealitas bekerja, diharapkan tercipta kesadaran baru akan pentingnya literasi digital dan pembentukan identitas yang lebih otentik serta kritis di tengah derasnya arus informasi dan citra digital.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/269Hiperrealitas Media Sosial: Pembentukan Identitas Diri Anak Muda dalam Simulakra Digital dalam Lensa Teori Hiperrealitas Jean Baudrillard2025-10-14T08:46:22+07:00Afrianus Ampurafrianus12@gmail.comEmanuel ToanubunToanubun27@gmail.comElisabeth Lepang Weking lepangweking@gmail.comMaria Sanci Fena Nakluifenanaklui0@gmail.comMaria Vivinsia Darovinsiaaro@gmail.com<p>Penelitian ini mengeksplorasi fenomena pembentukan identitas diri anak muda di media sosial melalui lensa teori Jean Baudrillard, khususnya konsep simulasi, <em>simulakra,</em> dan <em>hiperrealitas</em>. Media sosial menjadi arena dominan di mana identitas dikonstruksi secara digital melalui representasi yang dikurasi dan dimediasi oleh estetika serta algoritma. Identitas yang dibentuk tidak lagi merujuk pada kenyataan objektif, melainkan pada gambaran yang telah diproduksi dan dipentaskan secara simbolik demi mendapatkan pengakuan sosial. Dalam kondisi <em>hiperrealitas,</em> yang tiruan sering kali lebih dipercaya dan lebih berpengaruh dibandingkan kenyataan itu sendiri. Studi ini menggunakan metode studi pustaka untuk menelaah berbagai literatur yang relevan dan menunjukkan bahwa media sosial memperkuat kecenderungan representasi diri yang performatif dan berjarak dari realitas otentik. Dampaknya tidak hanya memengaruhi citra diri anak muda, tetapi juga berkontribusi pada krisis eksistensial serta tekanan psikologis akibat tuntutan untuk mempertahankan persona digital. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan kritis dalam memahami interaksi anak muda dengan dunia digital serta dorongan terhadap penguatan literasi digital agar individu dapat lebih sadar dan reflektif dalam membentuk identitas di ruang maya</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/291Kaum Muda sebagai Agen Demokrasi Digital: Analisis Peran Teknologi dalam Partisipasi Politik Generasi Digital Menurut Christian Fuchs2025-10-17T08:49:41+07:00Cosmas BuruCosmatws7@gmail.comHendrikus Balzano Japabalzanojapa@gmail.comMatias Patriano Vanovano@gmail.comRonaldo Musironaldomusi805@gmail.comViktorinus Edisonedisonviktorinus@gmail.com<p>Fokus tulisan ini adalah menelaah kehidupan kaum muda dalam dunia politik di tengah derasnya kemajuan media digital. Tulisan ini membahas partisipasi kaum muda (Gen Z) dalam menggunakan <em>gadgad </em>untuk berpartisipasi secara langsung menuju kehidupan ynag lebih demokratis. Tulisan ini didasarkan pada pemikiran kritis Christian Fuchs seorang filsuf sekaligus sosiolog asal Austria. Fuchs melihat peran penting media digital sebagai ruang perjumpaan yang baru bagi siapa pun pada zaman ini terutama kaum muda. Ia berpendapat bahwa media digital akan sangat berguna atau justru merusak keberadaan demokrasi dalam dunia politik tergantung bagaimana pengguna memakainya secara bijak dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini, kaum muda memilik peran yang sangat besar dalam meningkatkan kualitas demokrasi itu sendiri di tangah derasnya arus perubahan media digital dengan fitur-fitur yang ada. Di Pundak kaum muda, arus perubahan itu diletakkan. Di pundak kaum muda mutu demokrasi itu sendiri menjadi dasar untuk memperluas janngkauan demokrasi melalui kegiatan-kegiatan <em>online </em>terutama memajukan opini-opini publik yang bernuansa kritis dan membangun untuk menolak kebijakan pemerintah yang menyimpang dari konsep kehidupan bersama. Tulisan ini menggunakan metode kualitatif dan kajian daftar pustaka berdasarkan kajian pekimiaran Christian Fuchs. Temuan dari tulisan ini ialah bahwa di tengah arus perubahan media digital dan algoritma-algoritma yang termuat di dalamnya sangat penting untuk meningkatkan pendidikan literasi digital untuk kaum muda agar menjadi pribadi yang bertanggung jawab dalam menggunakan media digital</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/273Fenomena Digitalisasi dan Implikasinya: Tinjauan Kritis melalui Keraguan Metodis Descartes sebagai Critical Thinking2025-10-14T09:15:08+07:00Dian Labo Mengkalalabomengkala21@gmail.comRobertus Wijanarkorwijanarko68@gmail.com<p><strong>Fenomena Digitalisasi Dan Implikasinya: Tinjauan Kritis Melalui Keraguan Metodis Descartes Sebagai Critical Thinking</strong></p> <p>Dian Labo Mengkala</p> <p><a href="mailto:labomengkala21@gmail.com">labomengkala21@gmail.com</a></p> <p>Robertus Wijanarko</p> <p>Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang</p> <p> </p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Fenomena digitalisasi bisa menjadi ancaman bagi eksistensi manusia sebagai subjek yang berpikir. Hal ini disebabkan ketergantungan secara berlebihan terhadap algoritma, sehingga yang penting bukan lagi hal yang dipikirkan atau dikehendaki oleh manusia sebagai subjek, melainkan apa yang disajikan oleh digitalisasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengkritisi fenomena digitalisasi yang semakin mendominasi kehidupan manusia, dengan fokus pada bagaimana pengaruhnya membentuk dan berpotensi mengikis otonomi manusia sebagai subjek yang berpikir dan relasional. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka. Data dikumpulkan melalui penelaahan literatur filosofis, sosiologis, dan teknologi terkait digitalisasi, serta pemikiran kritis dan filsafat Descartes. Keraguan metodis Descartes sebagai kerangka <em>critical thinking</em> menjadi landasan untuk melakukan pemikiran kritis terhadap asumsi-asumsi di balik realitas digital. Prinsip “cogito, ergo sum” juga menjadi landasan untuk memahami dan menegaskan kembali posisi manusia. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa digitalisasi melalui algoritma dan kurasi konten, secara halus menciptakan ilusi realitas yang memengaruhi persepsi dan memanipulasi preferensi pengguna. Tanpa sikap kritis, pengguna berisiko kehilangan kapasitas untuk berpikir secara independen. Melalui penerapan keraguan metodis Descartes sebagai <em>critical thinking, </em>secara sadar dan sistematis yaitu, dengan secara aktif mempertanyakan, menganalisis, dan memfilter informasi digital, setiap pengguna dapat mempertahankan dan memperkuat integritas kognitifnya. Ini adalah langkah fundamental untuk menegaskan kembali kendali atas nalar dan mencapai kebebasan berpikir</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/274Aku Yang Tak Pernah Tetap: Krisis Identitas Generasi Digital Dalam Perspektif Liquid Modernity Zygmunt Bauman2025-10-14T09:23:30+07:00Covin Andreas Lumban Gaol lumbangaol4@gmail.comYohanes I Wayan Marianta jowayansvd@gmail.comFirmus Isalno Naur firnaur@gmail.comGerardus Chrisdinando Ardin Yubileano ardinyubileano2@gmail.comRocky Aditia Sitohang rockyaditia03@gmail.com<p>Fenomena krisis identitas di kalangan generasi muda semakin mencolok dalam era digital, terutama dengan dominasi media sosial sebagai ruang pembentukan dan ekspresi diri. Media sosial tidak hanya menyediakan platform komunikasi, tetapi juga menciptakan tekanan sosial untuk tampil ideal, relevan, dan diakui secara publik. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis krisis identitas yang dialami generasi digital melalui pendekatan filsafat kontemporer Zygmunt Bauman, khususnya konsep liquid modernity. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan kajian pustaka, mengkaji karya utama Bauman serta literatur ilmiah terkait identitas digital dan media sosial. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam masyarakat cair seperti yang digambarkan Bauman, identitas tidak lagi bersifat tetap dan stabil, melainkan bersifat fleksibel, rapuh, dan selalu dinegosiasikan. Di dunia digital, identitas menjadi performatif dan terfragmentasi, mengikuti logika algoritma dan budaya validasi sosial. Generasi muda dipaksa untuk terus menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial yang cepat berubah, yang pada akhirnya menimbulkan tekanan psikologis dan krisis eksistensial. Kajian ini menunjukkan bahwa pemikiran Bauman memberikan kerangka reflektif yang kuat untuk memahami dinamika identitas di era digital, serta membuka ruang untuk merumuskan pendekatan yang lebih etis dan kritis dalam menghadapi realitas sosial kontemporer.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/276Hiperrealitas Orang Muda di Era Digital dalam Perspektif Jean Baudrillard 2025-10-14T09:41:39+07:00Blasius Diki Anggorojembongdiki@gmail.comVincentius Septian Krisnandakrisnanda@gmial.comYusuf Irawan Arsardi Wijayaputrawijayaputrairwan@gmail.comAgilang Aji Prasojoprasojo7@gmail.com<p>Penelitian ini mengkaji fenomena hiperrealitas dalam kehidupan orang muda Indonesia di era digital dengan merujuk pada pemikiran Jean Baudrillard. Perkembangan media sosial telah membentuk ruang simulatif di mana identitas, relasi, dan emosi tidak lagi merefleksikan kenyataan yang utuh, melainkan dikonstruksi melalui tanda, citra, dan algoritma. Dalam konteks ini, orang muda terdorong untuk membentuk identitas digital yang telah dipoles agar sesuai dengan ekspektasi pasar digital. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi dan wawancara mendalam terhadap delapan responden berusia 18–24 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas informan menyadari adanya perbedaan antara diri mereka yang otentik dengan versi digital yang ditampilkan. Situasi ini menciptakan krisis otentisitas, ketergantungan terhadap validasi digital, dan tekanan emosional yang berujung pada kelelahan serta kecemasan sosial. Bahkan, dalam beberapa kasus, nilai-nilai spiritual pun terancam dikompromikan. Temuan ini menunjukkan bahwa pemikiran Baudrillard tentang simulacra dan hiperrealitas sangat relevan dalam membaca disorientasi identitas di era media sosial. Oleh karena itu, penting dikembangkan kesadaran kritis dan refleksi diri agar orang muda mampu bertahan sebagai pribadi yang otentik di tengah dominasi citra dan ilusi digital</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/285Takut Akan Tuhan Sebagai Dasar Hidup Kaum Muda: Telaah Amsal 1:7 dalam Konteks Milenial dan Gen Z2025-10-14T10:49:58+07:00Krisna Ricardo Sianturikrisnaricardosianturi3@gmail.comGregorius Tri Wardoyogtricm@gmail.com<p>Generasi Milenial dan Gen Z hidup dalam era yang ditandai oleh kemajuan teknologi, arus informasi yang cepat, serta pergeseran nilai-nilai sosial dan spiritual. Di tengah realitas tersebut, mereka menghadapi tantangan serius dalam membentuk kehidupan yang bermakna dan berakar secara moral maupun spiritual. Relativisme moral, individualisme, dan sekularisme menjadi karakter dominan yang mengikis ketundukan terhadap otoritas ilahi, dan menyebabkan banyak kaum muda mengalami kebingungan nilai, kekosongan rohani, serta krisis makna hidup. Dalam konteks ini, Amsal 1:7 “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan” menjadi landasan penting dalam membangun kehidupan yang bijaksana dan bertanggung jawab. Artikel ini bertujuan untuk menelaah makna “takut akan Tuhan” secara eksegetis dan teologis dalam terang Amsal 1:7, serta mengaitkannya dengan tantangan spiritual dan etika yang dihadapi generasi Milenial dan Gen Z. Penelitian ini menunjukkan bahwa “takut akan Tuhan” bukan sekadar rasa takut dalam arti negatif, melainkan sikap hormat, tunduk, dan kesadaran akan kehadiran dan otoritas Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Sikap ini merupakan dasar dari hikmat sejati, yang membimbing kaum muda untuk hidup dengan arah yang jelas, nilai-nilai yang kokoh, serta spiritualitas yang berakar. Dengan fondasi ini, kaum muda didorong untuk tidak hanya bertahan dalam arus zaman, tetapi juga menjadi agen transformasi yang membawa terang di tengah dunia yang gelap. Peran komunitas iman sangat penting dalam menanamkan nilai ini agar generasi muda tumbuh menjadi pribadi yang kuat secara spiritual dan etis.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/282Menjadi Manusia Berhikmat di Tengah Bayang-Bayang Kecerdasan Buatan (AI) Menurut Amsal 4:1-92025-10-14T10:24:13+07:00Nikolaus Tabe Radjanikotabe23@gmail.comIgnasius Budiono igbudiono@gmail.com<p>Fokus penelitian ini adalah menelusuri bagaimana manusia memperoleh hikmat di tengah arus besar perkembangan Kecerdasan Buatan atau <em>Artificial Intelligence </em>(AI). Akhir-akhir ini AI tidak hanya menjadi penemuan, melainkan gaya hidup. Bahkan AI menjadi bagian dari hidup manusia itu sendiri. Pengaruh AI yang mendominasi berbagai aspek kehidupan membuat manusia sangat bergantung padanya. Situasi demikian membuat manusia berpikir apa yang menjadi bagian khas dalam dirinya, sebab semuanya sudah diambil alih oleh AI. Manusia berada fase krisis karena tidak berdaya dengan AI dan segala kecanggihannya. Menurut Amsal 4:1-9 nilai yang khas dalam diri manusia sekaligus tidak ada dalam AI adalah hikmat. Hikmat adalah nilai yang harus dikejar dan dipelihara dengan sungguh oleh manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan penegasan bahwa hikmat adalah hal yang perlu diperjuangkan manusia untuk memperoleh kepenuhannya. Metode yang digunakan adalah analisis sintaksis dan semantik tentang hikmat lalu dihubungkan dengan AI sebagai produk kecerdasan manusia. Penulis menemukan bahwa hikmat tidak dapat ditemukan dalam AI atau produk kecerdasan lainnya, melainkan dalam diri manusia. Hikmat membuat manusia untuk hidup dalam kebenaran, dan tidak dikendalikan oleh situasi atau kemajuan dunia. Manusia harus sampai pada pengenalan akan dirinya melalui hikmat, sekalipun berada di bawah bayang-bayang AI.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/284Menjaga Hati, Menemukan Identitas Refleksi Teologi Biblis-Komparatif Amsal 4:23 dan Yoh 7:38 dan Implikasinya bagi Pergulatan Kaum Muda di Era Digital2025-10-14T10:42:47+07:00William Fortunatus Dani Ardhiatamafortunatus.dani@gmail.comRafael Isharianto Isharianto@gmail.com<p>Fokus artikel ini adalah menafsirkan dan merefleksikan makna “hati” sebagaimana dipresentasikan dalam Amsal 4, 23 dan Injil Yohanes 7, 38 dalam konteks perjuangan identitas yang dihadapi kaum muda dewasa ini. Realitas krisis identitas di antara kaum muda di era digital merupakan kenyataan yang tak terelakkan. Mereka sering gagal dalam menguasai diri dan kehidupan batin mereka, yang berujung pada perilaku yang merugikan.Studi ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan eksegese komparatif, dimana kedua teks biblis tersebut dikaji secara kritis dan dikaitkan dengan realitas sosial kontemporer yang dihadapi oleh kaum muda. Temuan utama dari kajian ini menunjukkan bahwa hati merupakan jantung kehidupan manusia, dari mana semua aktivitas manusia bersumber. Karena itu hati harus selalu dijaga dengan tekun dan diarahkan kepada Kristus. Hati yang diarahkan kepada Kristus akan menghasilkan banyak buah. Dalam konteks dewasa ini menjaga hati bagi kaum muda berarti mengembangkan disposisi batin untuk penguasaan diri. Dengan penguasaan diri kaum muda akan mampu merawat hati mereka di dalam Kristus, dan dengan demikian menemukan makna hidup, identitas sejati mereka, dan panggilan luhur hidupnya.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/283Komitmen Spiritual Gen-Z di Era Virtual Identity Crisis: Perspektif Intertekstual Alkitabiah dari Amsal 3:1–6 dan Yohanes 14:1–6 2025-10-14T10:32:05+07:00Gaspar Triono Jeramangasparjerman@gmail.comHenricus Pidyarto Gunawanpidyoc@yahoo.com<p>Generasi Z (Gen-Z), hidup di tengah dunia digital yang menciptakan krisis identitas virtual yakni suatu ketegangan antara citra diri maya dan eksistensi nyata yang berdampak pada spiritualitas mereka. Artikel ini merespons fenomena tersebut dengan mengangkat dua teks Kitab Suci, Amsal 3:1–6 dan Yohanes 14:1–6, sebagai dasar refleksi teologis. Kajianya terdiri dari: isi dan tafsiran kedua teks, relasi intertekstual di antara keduanya, serta pesan teologisnya bagi Gen-Z yang mengalami krisis identitas spiritual. Metode yang digunakan adalah hermeneutika intertekstual, dengan menelusuri gema makna antara kedua teks berdasarkan pendekatan Richard B. Hays. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Amsal menekankan hidup dalam kasih, setia, dan kepercayaan kepada Tuhan, sedangkan Yohanes menampilkan Yesus sebagai Jalan, Kebenaran, dan Hidup, sebagai jawaban definitif atas pencarian eksistensial manusia. Keduanya memperlihatkan kesinambungan teologis dari hikmat menuju relasi personal dengan Kristus. Dalam kedua perikop ini, iman dipahami bukan sekadar landasan dan imperatif moral, melainkan proses dan pilihan definitif untuk hidup dalam kebenaran Allah, yang menjadi solusi spiritual bagi krisis identitas digital yang dialami Gen-Z.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/281Spiritualitas Awam dalam Penggunaan Media Sosial: Suatu Refleksi atas Amsal 4:18 dan Yohanes 8:12 dalam Konteks Menjadi Terang di Dunia Digital2025-10-14T10:14:45+07:00Stefanus Fernandesferinnome@gmail.comHenricus Pidyarto Gunawanpidyoc@yahoo.com<p>Era digital telah menjadi ruang baru bagi umat Kristiani dalam mengekspresikan iman dan identitas moralnya. Namun, dinamika media sosial juga membawa tantangan etis yang perlu ditanggapi secara spiritual. Artikel ini bertujuan untuk membangun pemahaman tentang pentingnya spiritualitas terang dalam kehidupan digital umat Kristiani dengan mendasarkan refleksi pada dua teks Kitab Suci, yaitu Amsal 4:18 dan Yohanes 8:12. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode hermeneutik biblis guna menafsirkan makna teks secara kontekstual dan aplikatif terhadap realitas media sosial. Kedua ayat tersebut dijadikan sebagai fondasi etis dan spiritual dalam membentuk karakter digital umat. Kajian ini mengkaji relasi antara terang dan identitas moral umat, serta implikasinya terhadap komunikasi etis, kesaksian iman, dan penggunaan teknologi secara bertanggung jawab. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terang dalam pemahaman biblis bukan hanya simbol spiritual, tetapi menjadi pedoman konkret dalam membentuk kepribadian digital yang otentik dan bermisi. Kontribusi utama artikel ini adalah menyajikan kerangka spiritualitas terang yang dapat menjadi panduan praktis bagi umat awam untuk hidup setia pada nilai-nilai Injili di tengah kompleksitas dunia digital.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/288Ilusi Kehendak Bebas: Algoritma dan Pilihan Moral di Era Digital, Telaah Teologi Moral Katolik2025-10-14T11:13:00+07:00Yustinus .tinus.tinus68@gmail.com<p>Artikel ini menelaah tantangan moral yang ditimbulkan oleh algoritma era digital terhadap kehendak bebas manusia dari perspektif Teologi Moral Katolik. Di era di mana algoritma semakin membentuk persepsi, preferensi, dan keputusan manusia, artikel ini berargumen bahwa mekanisme prediksi, personalisasi, dan optimasi algoritmik berpotensi mengikis otonomi moral manusia. Melalui analisis yang mendalam, artikel ini menunjukkan bagaimana algoritma menciptakan "<em>filter bubble</em>" yang membatasi pencarian kebenaran, mereduksi martabat manusia menjadi kumpulan data yang dapat dioptimasi, dan menimbulkan krisis tanggung jawab melalui sifatnya yang "<em>black box</em>" dan <em>opaque</em>. Kerangka antropologi Katolik, yang berpusat pada doktrin <em>Imago Dei</em>, kehendak bebas, dan panggilan untuk berelasi, digunakan untuk mendiagnosis gesekan-gesekan kritis ini. Sebagai respons, artikel ini mengusulkan sebuah etika Katolik untuk era algoritmik yang berlandaskan pada prinsip martabat manusia, kebijaksanaan (<em>prudentia</em>), kesejahteraan bersama (<em>common good</em>), solidaritas dan subsidiaritas. Kesimpulannya menegaskan bahwa meskipun algoritma adalah alat yang powerful, ia harus tunduk pada pertimbangan moral manusia agar dapat melayani panggilan manusia yang seutuhnya, bukan menggantikan atau merusaknya</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/290Algoritma vs Kehendak Bebas: Pilihan Moral dalam Era Digital 2025-10-17T08:35:05+07:00benny suwitobennysuwito.ukwms@ac.id<p>Perkembangan teknologi digital pada abad ke-21 telah mengubah secara mendasar cara manusia berpikir, berinteraksi, dan mengambil keputusan moral. Salah satu bentuk nyata dari kemajuan tersebut ialah hadirnya <em>Artificial Intelligence</em> (AI) atau Akal Imitasi yang bekerja melalui sistem algoritma. Algoritma dirancang untuk membantu manusia dalam pengambilan keputusan, namun di sisi lain dapat memengaruhi kebebasan manusia dalam menentukan pilihan moralnya. Artikel ini menelaah secara kritis relasi antara algoritma dan kehendak bebas dalam konteks kehidupan kaum muda yang hidup di tengah budaya digital. Dengan menggunakan metode penelitian pustaka dan pendekatan fenomenologi budaya, tulisan ini menelusuri sejarah perkembangan AI, fungsi algoritma dalam media sosial, serta konsekuensi etis yang ditimbulkannya. Dalam terang ajaran Gereja Katolik, khususnya melalui dokumen <em>Antiqua et Nova</em>, manusia tetap memiliki martabat dan kebebasan sebagai citra Allah (<em>imago Dei</em>) untuk memilih yang baik berdasarkan hati nurani yang terformasi dengan benar. Oleh karena itu, pendampingan pastoral yang menekankan pembinaan hati nurani menjadi kunci bagi kaum muda agar dapat menggunakan teknologi digital secara bijak dan bertanggung jawab. Artikel ini menyimpulkan bahwa algoritma tidak boleh menggantikan peran kehendak bebas manusia, melainkan harus menjadi sarana yang dikelola secara etis demi perkembangan moral dan kemanusiaan yang otentik.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/286Spiritualitas Kaum Muda di Tengah Perkotaan dalam Era Digital2025-10-14T11:01:00+07:00Robert Pius Manikmanikrobertpius@gmail.comRaymundus I Made Sudhiarsaderai2013@gmail.comEvander B. Anggurb.anggur1@gmail.comLeni M. Oinikoinik7@gmail.comMarto Pusius Palengpusius@gmail.com<p>Spiritualitas kaum muda di era digital sangatlah penting. Apalagi di tengah kemajuan teknologi yang mempermudah kaum muda dalam mencari berbagi informasi yang mereka perlukan. Melihat kemudahan seperti ini kaum muda mulai kurang menyadari spiritualitas yang mereka miliki. Hal ini membuat mereka terjebak di era digital dan terlihat dari sikap mereka yang individualis. Sikap seperti ini menjadi sebuah persoalan dalam mewujudkan spiritualitas dalam kehidupan di era digital. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan kajian pustaka. Tujuan dari penulisan ini adalah melihat problem yang dialami oleh kaum muda tentang spiritualitas di era digital ini. Sebab mereka mulai kurang menyadari betapa pentingnya spiritualitas. Dalam penulisan ini penulis juga menemukan bahwa kaum muda masih memiliki sikap individualis. Maka perziarahan spiritualitas ini harus memiliki relasi, kerendahan hati dan kesadaran dari kaum muda di era digital</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/280Pier Giorgio Frassati & Carlo Acutis: Darah Muda, Jiwa Kudus! Studi Kanonik tentang “Kanonisasi”2025-10-14T10:09:52+07:00Daniel Ortega Galeddanielvincentian@gmail.com<p>Kajian kanonik ini membahas mengenai evolusi proses kanonisasi dalam Gereja dari masa ke masa. Pengetahuan mengenai para kudus mungkin adalah bagian historis yang paling unik, luar biasa dan menakjubkan, sebab ia bercerita tentang heroisme, dedikasi dan keberanian yang ditinggalkan oleh putra-putri Gereja. Dalam wajah Para Kudus, Gereja Kristus tak kehilangan arah. Teladan mereka memungkinkan kekudusan ditemukan kembali di tiap generasi. Penetapan legislasi kanonik dalam hal ini memegang peranan ganda: <em>pertama</em>, mendokumentasikan secara normatif dan sahih kekudusan para anggotanya, <em>kedua</em>, menunjukkan “jalan” kekudusan ini kepada semua anggota Gereja, tak terkecuali bagi kaum muda. Dalam berbagai bulla kanonisasi, para kudus sering disamakan sebagai “mereka” yang datang “pada waktu yang tepat” untuk menjawab kebutuhan Gereja dan dunia. Sintesis dari telaah kanonik ini menunjukkan bahwa kaum muda, tanpa diragukan, adalah “yang tepat” di era teknologi hari-hari ini. Karenanya, kekudusan bagi mereka bukanlah utopia. Carlo dan Giorgio, setidaknya, telah membuktikannya.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/278Iman di Era Digital: Pengaruh Media Sosial terhadap Formasi Rohani Orang Muda Katolik Generasi Z di Malang2025-10-14T09:55:14+07:00Kurniawan Dwi Madyo Utomofxiwancm@gmail.com<p>Penelitian ini mengkaji pengaruh media sosial terhadap pembentukan dan perkembangan iman orang muda Katolik Generasi Z. Latar belakang penelitian ini berangkat dari realitas bahwa media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda, memengaruhi cara mereka berelasi, mencari makna, dan mengekspresikan iman. Tujuan penelitian ini adalah memahami bagaimana media sosial membentuk kehidupan rohani orang muda serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memperkuat atau justru melemahkan pertumbuhan iman di tengah budaya digital. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain fenomenologis, melalui wawancara mendalam terhadap enam belas mahasiswa Katolik yang aktif menggunakan media sosial. Analisis tematik dilakukan untuk menemukan pola pengalaman, persepsi, dan refleksi spiritual partisipan terhadap penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media sosial memiliki pengaruh ganda terhadap kehidupan iman. Di satu sisi, ia dapat melemahkan iman melalui perbandingan sosial, kecanduan digital, dan berkurangnya relasi tatap muka. Namun di sisi lain, media sosial juga memperkaya iman dengan menyediakan akses mudah terhadap Kitab Suci, homili, renungan rohani, dan komunitas iman daring. Ketahanan iman orang muda bergantung pada dukungan lingkungan, literasi digital, dan disiplin rohani pribadi</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/287Formatio Generasi Milenial dalam Perspektif Teologi Proses2025-10-14T11:08:30+07:00Antonius Denny Firmantofirmantoantoniusdenny@gmail.comAgustinus R.D. Boryrd.bory7@gmail.comDeni Abinabin4@gmail.comMartina Dialdial2@gmail.comMichael Mario Nusamarionusa@gmail.com<p>Perkembangan teknologi digital telah mengubah cara generasi milenial membangun relasi dan komunitas, menghadirkan problematika formasi iman seperti lemahnya ikatan antarindividu, kecenderungan individualisme, dan pengalaman keterasingan dalam komunitas virtual. Artikel ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan kajian pustaka terhadap literatur teologi proses Alfred North Whitehead, pemikiran Marjorie Suchocki, serta teori perkembangan manusia, untuk merumuskan kerangka konseptual human formation bagi generasi digital. Hasil kajian menunjukkan bahwa teologi proses, yang menekankan realitas sebagai proses dinamis dan relasional, membuka ruang untuk mendefinisikan ulang formasi iman bukan sebagai transfer doktrin statis, melainkan sebagai perjalanan berkesinambungan yang menekankan kebebasan, kreativitas, dan keterkaitan. Empat pilar formasi ditawarkan: katekese digital, komunitas proses, pedagogi partisipatif, dan spiritualitas dinamis. Dengan demikian, artikel ini memberi kontribusi baru bagi pastoral digital dengan menghadirkan teologi proses sebagai paradigma alternatif dalam merumuskan formasi iman generasi digital native.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/292Virtual Environment : Tinjauan Psikologi pada Kehidupan di Ruang Digital2025-10-18T07:48:39+07:00Ermida Simanjuntakmida@ukwms.ac.id<p><em>The virtual environment is a cyberspace formed by the internet and is widely accessed by young people in Indonesia, particularly individuals in the developmental stages of adolescence and emerging adulthood. Internet access among youth has the potential to give rise to several challenges including : problematic internet use, online disinhibition, parasocial interaction, and media multitasking. Recommendations that can be provided to minimize the negative impacts of internet use include : conducting proper self-evaluation before engaging in media multitasking, identifying the root causes of individuals’ internet dependency behaviours, implementing gadget-based interventions to regulate internet use, applying digital detox programs, providing education on media literacy, and applying parental monitoring for internet use.</em></p> <p><em>Keywords : virtual environment</em>, <em>problematic internet use, online disinhibition</em>, <em>parasocial interaction,</em> <em>media multitasking</em></p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/293Kaum Muda Katolik Perantau Manggarai dan Tantangan Iman di Tengah Media Sosial2025-10-21T11:10:27+07:00Alfonsius Karwanalfonsiuskarwan@gmail.comDevantus Ninoninodevantus@gmail.comLongginus Magul Panggutyogipangut@gmail.com<p>Tulisan ini berfokus pada bagaimana media sosial memengaruhi iman dan relasi kaum muda Katolik dengan Gereja. Media sosial di satu sisi menjadi sarana baru bagi kaum muda untuk mengakses informasi rohani, membangun komunitas iman secara daring, serta mengekspresikan identitas religius mereka. Namun, di sisi lain, media sosial juga menghadirkan tantangan berupa distraksi, informasi berlebih, dan gaya hidup instan yang berpotensi melemahkan kedalaman iman serta keterlibatan dalam kehidupan menggereja. Dengan menggunakan metode wawancara terhadap beberapa kaum muda Katolik, penelitian ini menemukan bahwa media sosial memberikan dampak ambivalen: membantu mereka memperkaya iman sekaligus menggiring mereka pada praktik beriman yang lebih dangkal dan terfragmentasi. Oleh karena itu, refleksi kritis terhadap penggunaan media sosial menjadi penting, baik bagi kaum muda itu sendiri maupun bagi Gereja dalam merancang strategi pastoral yang relevan dengan dunia digital</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/294Makna Digital Activism bagi Generasi Z di Paroki Maria Ratu Semesta Alam Sungai Durian dalam Tinjauan Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer2025-10-21T11:36:22+07:00Vinsensius Mischa Aldeodeomischa@gmail.comGregorius Agunggregoriusagung@gmail.com<p data-start="66" data-end="571">Studi ini berfokus pada makna aktivisme digital (AD) bagi Generasi Z di Paroki Maria Ratu Semesta Alam Sungai Durian, dengan menggunakan teori interaksionisme simbolik dari Herbert Blumer sebagai kerangka teoritis. Aktivisme digital adalah bentuk keterlibatan sosial-politik yang menggunakan teknologi digital untuk mengorganisasi, mengadvokasi, dan menyuarakan perubahan. AD bukan sekadar aktivitas teknis, melainkan tindakan simbolik yang mencerminkan identitas, solidaritas, dan tanggung jawab moral.</p> <p data-start="573" data-end="862">Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui wawancara mendalam dengan lima informan Gen Z yang aktif di media sosial dan telah terlibat dalam kampanye AD. Analisis dilakukan dengan memosisikan makna sebagai konstruksi sosial yang dibentuk dan terus diperbarui melalui interaksi.</p> <p data-start="864" data-end="1381">Temuan menunjukkan bahwa AD dipahami dalam berbagai cara: sebagai simbol perjuangan dan kepedulian sosial, sebagai sarana solidaritas, serta sebagai bentuk ekspresi emosional. Makna-makna ini dibentuk melalui interaksi dengan teman sebaya, komunitas, dan wacana publik di platform digital. Dengan demikian, AD berfungsi sebagai arena simbolik tempat identitas dan solidaritas dinegosiasikan, meskipun tetap bersifat ambivalen karena dapat mendorong kesadaran kritis tetapi juga berisiko menjadi partisipasi dangkal.</p> <p data-start="1383" data-end="1696">Studi ini menyarankan agar paroki memberikan panduan literasi digital dan mendorong keterkaitan antara aktivisme digital dengan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian lanjutan disarankan untuk memperluas jumlah responden dan mengeksplorasi hubungan antara AD dan keterlibatan sosial secara luring.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/295Menggali Makna Kegiatan Kumpul Bersama bagi Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Gembala Baik – Batu: Perspektif Interaksi Simbolik 2025-10-21T12:22:16+07:00Albertus Agung Dwi Kristiyanto dwikristiyanto0110@gmail.comJona Dipa Manurung jonadipamanurung@gmail.com<p>Penelitian ini berfokus pada mencari makna dibalik suatu fenomena sosial yang terjadi pada orang muda katolik (OMK) Paroki Gembala Baik – Batu. Fenomena yang dimaksud tersebut ialah, interaksi antarpribadi yang terdapat dalam kegiatan kumpul-kumpul <em>bareng</em> yang sering dilakukan di <em>base camp</em> paroki. Mereka para orang muda katolik paroki Gembala Baik – Batu, sering melakukan kumpul bersama – <em>bareng</em>. Kumpul tersebut bersifat santai, tidak formal sama sekali. Namun, kumpul tersebut kerap kali memunculkan kesan bahwa mereka kurang kerjaan. Fenomena inilah yang hendak digali maknanya oleh penulis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam paper ini terdapat dua cara yaitu, <em>library research</em>-penelitian kepustakaan dan wawancara. Dua metode tersebut digabungkan agar memperoleh hasil yang akurat, maksimal, dan faktual. Penelitian ini telah memperoleh hasil bahwa kumpul bersama – <em>bareng</em> yang dilakukan oleh orang muda katolik (OMK) Paroki Gembala Baik – Batu memiliki makna yang mendalam dan beragam. Selain makna kebersamaan, kerukunan, dan persaudaraan, juga terdapat makna belajar bersama, berbagi pengetahuan dan keterampilan bersama</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/296Analisis Dramaturgi Erving Goffman: Panggung Iman Orang Muda Katolik di tanah Rantau dalam Era Digital2025-10-21T12:30:15+07:00Nestro Roki Niko nestroiko@gmail.comLorensius Suengsuenglorensius@gmail.com<p>Permasalahan menjaga identitas religius di era digital menjadi tantangan bagi orang muda Katolik Generasi Z, khususnya yang hidup di tanah rantau. Mereka harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru sambil tetap memelihara iman Katolik yang diwariskan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana orang muda Katolik Generasi Z menampilkan dan mempraktikkan identitas iman mereka di ruang publik dan digital, serta strategi manajemen kesan yang digunakan dalam menghadapi tantangan budaya populer dan sekularisme. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus. Informan dipilih secara purposif dan data dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur serta studi pustaka. Analisis dilakukan dengan menggunakan teori dramaturgi Erving Goffman. Hasil menunjukkan bahwa para informan mengekspresikan iman melalui dua panggung: <em>front stage</em> (media sosial dan ruang publik) dan <em>back stage</em> (doa pribadi dan komunitas kecil). Identitas religius mereka ditampilkan secara strategis namun tetap berakar pada spiritualitas pribadi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa iman tidak hanya diwarisi, tetapi secara aktif dihidupi, ditampilkan, dan dimaknai ulang di tengah kehidupan digital dan diaspora</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/297Eksistensialisme di Era Algoritma: Jean-Paul Sartre, TikTok, dan Krisis Identitas Diri 2025-10-24T07:00:24+07:00Pius Pandorpiuspandor@gmail.com<p>Artikel ini membahas fenomena eksistensi manusia dalam dunia digital kontemporer dengan menyoroti platform TikTok sebagai ruang performatif yang dibentuk oleh algoritma, viralitas, dan estetika kurasi diri dalam lensa pemikiran Jean-Paul Sartre. Tujuan utama artikel ini adalah untuk menganalisis bagaimana kebebasan, tanggung jawab, dan kontruksi makna sebagai tema sentral dalam eksistensialisme Jean-Paul Sartre ditantang oleh struktur teknologis TikTok. Melalui metode pendekatan kualitatif-filosofis, artikel ini mengeksplorasi bagaimana pengguna TikTok kerap mengalami kondisi <em>mauvaise foi</em> ‘ketidakjujuran terhadap diri sendiri’, ketika tindakan dan identitas digital lebih ditentukan oleh algoritma dan ekspektasi eksternal daripada pilihan sadar dan reflektif. Argumen utama yang diajukan adalah bahwa TikTok menciptakan bentuk baru dari krisis makna di mana kebebasan eksistensial terancam oleh siklus performa instan, pencitraan yang seragam, dan validasi algoritmik. Meski demikian, artikel ini juga menunjukkan bahwa TikTok bukanlah ruang yang sepenuhnya meniadakan eksistensi otentik sebaliknya ia menyimpan potensi sebagai medan pencarian makna jika digunakan dengan penuh kesadaran reflektif dan ditopang oleh nilai-nilai etis. Kebaruan yang ditawarkan artikel ini terletak pada penerapan langsung konsep-konsep kunci Sartrean—seperti kebebasan, tanggung jawab, <em>mauvaise foi</em>, dan kontruksi makna dalam melakukan analisis kritis terhadap dinamika media sosial, secara khusus TikTok.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologihttps://eprosiding.stftws.ac.id/index.php/serifilsafat/article/view/298Iman, Belarasa dan Solidaritas : Relevansi Beato Frederic Ozanam bagi Orang Muda Katolik di Era Digital2025-10-24T07:07:28+07:00Lorentius Iswandiriswandir380@gmail.comTimotius Jimiardi jimiardi@gmail.comAndreas Christo Paulus Danielandreaschristo1@gmail.com<p>Beato Frederic Ozanam (1813-1853) adalah seorang intelektual muda Katolik Perancis yang dikenal sebagai pendiri Serikat Sosial Vincentius (SSV) Di usia yang relatif singkat, ia berhasil mewariskan sebuah spiritualitas iman yang berbela rasa dan diwujudkan dalam solidaritas dengan kaum miskin. Artikel ini hendak menyoroti relevansi figur Ozanam bagi orang muda Katolik di era digital dengan menggunakan pendekatan historis, teologis, dan pastoral. Melalui penelusuran historis, ditampilkan konteks kehidupan Ozanam yang bergulat dengan persoalan sosial abad ke-19. Secara teologis, iman dan cintanya pada Kristus yang menemukan ekspresi nyata dalam pelayanan kepada orang miskin. Sedangkan dari sisi pastoral, pengalaman Ozanam menginspirasi keterlibatan kaum muda Katolik masa kini untuk membangun solidaritas melalui jejaring digital dan pelayanan nyata di tengah masyarakat. Tulisan ini menegaskan bahwa teladan Ozanam tetap relevan dalam mendampingi kaum muda Katolik, termasuk di Indonesia, agar semakin hidup dalam iman, belarasa, dan solidaritas.</p>2025-10-24T00:00:00+07:00Copyright (c) 2025 Seri Filsafat Teologi